Oleh : Albar Muges
Mahasiswa Jurusan Teknik Informatika di Unindra
Mahasiswa Jurusan Teknik Informatika di Unindra
Ketika mendengar kata mahasiswa, kita sering
cenderung beranggapan bahwa orang yang berfikir kritis, suatu elemen penting dalam mendorong kehidupan
sosial yang baik. Kata mahasiswa memiliki tempatnya tersendiri di dalam pemikiran
setiap orang. Mahasiswa sebagai “Agen Of
change”, kalimat yang selalu
didengungkan oleh para aktivis kampus yang tidak pernah puas dengan kebijakan publik
yang sering nyaris tidak pro rakyat. Mahasiswa adalah kaum intelektual muda
yang siap untuk merubah setiap kondisi yang menindas rakyat, begitulah
kira-kira bahasa sederhana yang bisa mewakili kata mahasiswa.
Setiap masuk kelas, penulis selalu melihat ada
beberapa mahasiswa di kelas yang ketika masuk kelas mereka harus mencium tangan
dosen, sesuatu yang tidak harus dilakukan oleh semua mahasiswa. cium tangan
menjadi suatu tradisi dalam sebuah keluarga sebagai tanda menghargai, seorang anak
harus mesti mencium tangan orang tuanya sebagai tanda bahwa sang anak
menghormati orang tuanya.
Cium tangan selalu menjadi simbol menghargai, menghormati,
hingga di ruangan kampus seorang mahasiswa harus mencium tangan seorang dosen, mahasiswa yang tidak memahami arti kebabasan dia dengan
sendirinya akan merasa bersalah jika tidak mencium tangan dosennya, Dosen juga
sering kali beranggapan bahwa mahasiswa yang tidak mencium tangan dosennya
berarti mahasiswa tersebut tidak menghargai dosennya. Suatu pemikiran keliru
yang terjadi di kalangan S2 bahkan S3. Albert Camus dengan sangat tegas
mengatakan bahwa “kebebasan harus di lihat di dalam relasi yang paling
individual, yaitu penghargaan terhadap cara setiap manusia menikmati
eksistensial”.
Ruang kelas adalah satu-satunya tempat paling bebas
di alam semesta, sebab di ruang kelas orang hanya bertumpuh pada kekuatan
argumen, jadi apapun pikiran orang, dia harus bisa disajikan untuk di bantah,
termasuk pikiran tentang surga. Di kampus ukuran pertama adalah anda intellectual,
intellectual berarti “force of the better argument” hanya argumen yang bermutu
yang boleh di ucapkan di kampus. Apa ciri argumen bermutu, argumen bermutu
adalah argumen yang membuka diri untuk di kritik ulang, dengan cara itu ada dialetika
ilmu pengetahuan.
Di kampus siapa pun boleh berpendapat, tapi mesti di
tekankan bahwa anda berpendapat artinya
anda ingin terbuka untuk dipersoalkan, sebab argumen yang di edarkan di ruangan
kampus adalah sesuatu yang sifatnya falibilis, falibilis artinya bisa di
buktikan salah, kalau tidak bisa di buktikan salah di rawatlah itu di ruang
ibadah masing-masing, supaya tidak ada problem dengan argumen.
Rocky Gerung, seorang dosen filsafat di Universitas
Indonesia (UI) pernah mengatakan dalam sebuah diskusi bahwa ungkapan: “Hormatilah dosen mu seperti anda
menghormati orang tua anda”, adalah suatu dasar tipuan sosiologis yang acap
kali melanda para mahasiswa, Ayah Ibu dalam hirarki tidak bisa di ganti, dosen
bisa di ganti, Presiden bisa di ganti, tetapi
model Ayah Ibu ini kemudian di pakai sebagai modal dasar, bahwa anda harus
patuh pada dosen seperti anda patuh pada Ayah Ibu anda, dosen bisa di ganti,
Ayah Ibu tidak bisa di ganti. Jadi problem ini sebetulnya dibuat
seolah-olah itu kultural, jadi kita tidak bisa mengkritisi dosen misalnya
karena dia adalah Ayah kita. Jadi dengan melekatkan konsepsi kultural Ayah Ibu
sebagai otoritas pada dosen munculah dosen tiri.
Dosen yang tidak mengerti hal semacam ini cenderung
punya pandangan negatif tersendiri terhadap mahasiswa tertentu yang tidak suka
mencium tangan dosennya, hingga kadang dosen dengan segala kuasanya memberikan
nilai yang tidak baik kepada mahasiswa. Padahal kita sangat tahu bahwa
menghormati tidak harus dengan mencium tangan, sehingga dalam kelas mahasiswa
di harapkan bisa menginterupsi sang dosen dengan tidak merasa bersalah.
Sopan santun menjadi kultural, bagi dosen yang
keliru dalam menafsirkan sopan santun seringkali salah dalam menilai kondisi
mahasiswa. Sehingga jika ada mahasiswa yang mengkritisi dosen di anggap sebagai
sesuatu yang tidak sopan.
Rocky Gerung
pernah mengatakan “Sopan santun terhadap hal-hal yang fundamental atas nama
peradaban itu sama artinya dengan kita memberi kesempatan tumbuhnya kebiadapan”.
Kadang kala sopan santun menjadi
penghambat tumbuhnya pluralisme, Sopan santun tidak lagi di pertengkarkan pada
asal-usul kulturalnya. Adaptasi historisnya, yaitu perjumpaannya dengan sejarah
tingkah laku peradaban. di kampus,
pluralisme tentang cara berfikir mesti di hidupkan, ada banyak persoalan dalam kampus
termasuk cara berfikir yang acap kali justru menghadirkan anti toleransi,
sehingga banyak dosen yang menilai mahasiswa hanya dengan sebelah mata.
Kampus itu tempat orang menikmati masa muda, masa
muda adalah masa di mana semua kemungkinan harus di perlihatkan sebagai milik
bersama, hanya dengan cara itu kampus bisa tumbuh, kampus adalah tempat
kemungkinan di olah dengan akal, bukan tempat keyakinan.
Soe Hok Gie, dalam bukunya Agus Santosa “Memoar Biru
Gie” memberikan contoh kepada kita, dalam sebuah pelajaran di kelas, Gie pernah
memaklumatkan kritik-kritik tajam dalam perdebatan soal sastra dengan gurunya.
Ia menaklukan dan membuat sang guru
malu, dan Ngawur. Apa komentar Gie?
“Yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu
benar. Dan murid bukan kerbau.”
Soe Hok Gie
memberikan contoh yang penulis kira harus mesti bisa membantu mahasiswa agar
berfikir lebih tajam untuk melihat hal-hal yang terjadi disekitar kita.
Mahasiswa harus tumbuh lebih berkualitas, mahasiswa harus berfikir lebih tajam
sehingga mampu merubah setiap hal yang mengganjal di dunia yang kotor tapi indah ini.
5 komentar:
keren :)
Bapak penulis semoga sukses, YAKUSA
Bapak penulis semoga sukses, YAKUSA
Mba mayang, terima kasih.
Bapa Akmal, Amiin. trim's
Posting Komentar