MENJADI mahasiswa
adalah peluang untuk menimba ilmu dan mengukir prestasi. Dalam banyak
kesempatan, mahasiswa bisa mengaktualisasikan kemampuannya. Beragam kompetisi
dapat diikuti sehingga membuka peluang untuk mengukir prestasi.
Sebagai bagian dari komunitas kampus, mahasiswa tidak lepas
dari persoalan bagaimana menyelesaikan setiap SKS yang dibebankan kepadanya,
merampungkan skripsi, menyelesaikan studi dengan nilai terbaik dan dalam waktu
yang singkat.
Kemampuan mahasiswa menyelesaikan kewajiban akademis yang
dibebankan akan diberi nilai sesuai dengan derajat kemampuannya, sehingga
dikenal istilah lulusan terbaik, lulusan dengan predikat cum laude dan
sebagainya.
Sudah menjadi kebiasaan di setiap perguruan tinggi di mana
pun, setiap tahun mengadakan pemilihan mahasiswa teladan/berprestasi. Banyak
parameter yang dijadikan sebagai acuan untuk memilih mahasiswa, sehingga
dihasilkan seorang mahasiswa terbaik yang berhak menyandang sebagai mahasiswa
berprestasi/teladan.
Di antara parameter yang biasa dijadikan acuan dalam
seleksi adalah mencakup prestasi akademis, yang dibuktikan dengan nilai Indeks
Prestasi Kumulatif (IPK), prestasi di luar kampus, dan sebagai pelengkap adalah
keaktifan organisasi, kemampuan berbahasa asing dan lainnya.
Namun, pertanyaannya adalah apakah parameter mahasiswa
berprestasi di atas sudah cukup ideal untuk mengantarkan seorang mahasiswa
sekaligus menyandang sebagai mahasiswa teladan? Mestinya ada konsensus awal,
apakah seorang yang menyandang sebagai mahasiswa berprestasi itu otomatis juga
sebagai mahasiswa teladan, karena dua hal ini tidak bisa disamakan. Apalagi
jika kita lihat kenyataan yang ada di lapangan, tidak semua mahasiswa yang
mungkin dianggap cukup berprestasi dapat sekaligus memberikan teladan kepada
mahasiswa lain.
Mahasiswa teladan adalah mahasiswa yang di samping memiliki
prestasi akademik bagus juga layak dijadikan contoh, seorang yang mampu
memotivasi teman dan orang disekitarnya, menjadi inspirasi bagi mahasiswa lain
untuk bisa memperoleh yang terbaik.
Dan hal semacam ini akan sangat terbuka untuk dilakukan
jika seorang mahasiswa juga terlibat dalam kehidupan kampus dan melepaskan diri
dari sempitnya intelektual mahasiswa murni - yang mungkin lebih sibuk dan puas
dengan dunia intelektualisme mereka sendiri.
Mahasiswa harus berani keluar dari kungkungan minat
intelektual yang sempit - sekadar mengikuti proses kuliah yang terasa sangat
abstrak- lalu memberikan perhatian dan kepedulian yang besar terhadap masalah
publik, menjadi pembawa suara moral dan etis bagi lingkungannya. Persoalannya,
apakah hal semacam ini dapat dilakukan oleh mahasiswa yang hanya mengandalkan
prestasi akademik semata?
Pada keadaan tertentu yang ekstrem, bahkan kita menemukan
sebagian mahasiswa dengan prestasi akademik bagus, namun sangat study
oriented. Mahasiswa seperti ini, biasanya berpandangan pragmatis, cuek,
menganggap orang lain tidak penting, sehingga seluruh waktunya tersita untuk
belajar sendiri, mengambil berbagai kursus, mengikuti banyak lomba dan lainnya
yang terkait dengan kepentingan pribadinya. Dapat dibayangkan, segala macam
prestasi akademik yang ia peroleh tidak memberikan kontribusi apa-apa bagi
mahasiswa lain.
Sejenak kita menatap ke belakang, merefleksikan seputar
aktivitas mahasiswa dalam lingkungan kampus. Tidak bisa dielakkan kita akan
mendapati keadaan yang masih jauh dari bayangan sebuah bangunan kultural
dinamis yang mestinya menjadi gejala khas sebuah komunitas dalam lingkungan
kampus.
Bangunan yang sangat sederhana tersebut semakin hening yang
diindikasikan dengan lemahnya respons intelektual maupun aktivitas sosial
mahasiswa. Padahal, sebagai pertanda hidupnya nadi komunitas kampus, respons
adalah syarat minimal.
Sepertinya, masing-masing individu atau kelompok mahasiswa
berjalan sendiri tanpa menyadari kebersamaannya dengan yang lain, atau masih
rendahnya kesadaran kolektif hingga belum muncul adanya keinginan, kesadaran
dan kepentingan bersama, kecuali oleh kelompok yang sangat terbatas. Inilah
kiranya yang membuat komunitas kampus menjadi sangat lemah dan aktivitas
intelektual mahasiswa pun lumpuh tak lagi menunjukkan kemuliaan sebuah ilmu.
Dengan gambaran di atas dapat dipahami bahwa ternyata
sekadar prestasi akademik saja belum cukup. Sederet mahasiswa dengan segudang
presetasi dan IP tinggi tidak menjadi jaminan bahwa aktivitas intelektual
mahasiswa dapat berjalan semestinya.