Welcome To Blog AL Muges

AL Muges Blog

08 September 2016

Antara Mahasiswa, Dosen, dan Cium Tangan

5 komentar


Oleh : Albar Muges
Mahasiswa Jurusan Teknik Informatika di Unindra

Ketika mendengar kata mahasiswa, kita sering cenderung beranggapan bahwa orang yang berfikir kritis, suatu  elemen penting dalam mendorong kehidupan sosial yang baik. Kata mahasiswa memiliki tempatnya tersendiri di dalam pemikiran setiap orang. Mahasiswa sebagai “Agen Of change”, kalimat yang selalu didengungkan oleh para aktivis kampus yang tidak pernah puas dengan kebijakan publik yang sering nyaris tidak pro rakyat. Mahasiswa adalah kaum intelektual muda yang siap untuk merubah setiap kondisi yang menindas rakyat, begitulah kira-kira bahasa sederhana yang bisa mewakili kata mahasiswa.
Setiap masuk kelas, penulis selalu melihat ada beberapa mahasiswa di kelas yang ketika masuk kelas mereka harus mencium tangan dosen, sesuatu yang tidak harus dilakukan oleh semua mahasiswa. cium tangan menjadi suatu tradisi dalam sebuah keluarga sebagai tanda menghargai, seorang anak harus mesti mencium tangan orang tuanya sebagai tanda bahwa sang anak menghormati orang tuanya.
Cium tangan selalu menjadi simbol menghargai, menghormati, hingga di ruangan kampus seorang mahasiswa harus mencium tangan seorang  dosen, mahasiswa yang  tidak memahami arti kebabasan dia dengan sendirinya akan merasa bersalah jika tidak mencium tangan dosennya, Dosen juga sering kali beranggapan bahwa mahasiswa yang tidak mencium tangan dosennya berarti mahasiswa tersebut tidak menghargai dosennya. Suatu pemikiran keliru yang terjadi di kalangan S2 bahkan S3. Albert Camus dengan sangat tegas mengatakan bahwa “kebebasan harus di lihat di dalam relasi yang paling individual, yaitu penghargaan terhadap cara setiap manusia menikmati eksistensial”.
Ruang kelas adalah satu-satunya tempat paling bebas di alam semesta, sebab di ruang kelas orang hanya bertumpuh pada kekuatan argumen, jadi apapun pikiran orang, dia harus bisa disajikan untuk di bantah, termasuk pikiran tentang surga. Di kampus ukuran pertama adalah anda intellectual, intellectual berarti “force of the better argument” hanya argumen yang bermutu yang boleh di ucapkan di kampus. Apa ciri argumen bermutu, argumen bermutu adalah argumen yang membuka diri untuk di kritik ulang, dengan cara itu ada dialetika ilmu pengetahuan.
Di kampus siapa pun boleh berpendapat, tapi mesti di tekankan bahwa anda  berpendapat artinya anda ingin terbuka untuk dipersoalkan, sebab argumen yang di edarkan di ruangan kampus adalah sesuatu yang sifatnya falibilis, falibilis artinya bisa di buktikan salah, kalau tidak bisa di buktikan salah di rawatlah itu di ruang ibadah masing-masing, supaya tidak ada problem dengan argumen.


Rocky Gerung, seorang dosen filsafat di Universitas Indonesia (UI) pernah mengatakan dalam sebuah diskusi bahwa ungkapan: “Hormatilah dosen mu seperti anda menghormati orang tua anda”, adalah suatu dasar tipuan sosiologis yang acap kali melanda para mahasiswa, Ayah Ibu dalam hirarki tidak bisa di ganti, dosen bisa di ganti, Presiden  bisa di ganti, tetapi model Ayah Ibu ini kemudian di pakai sebagai modal dasar, bahwa anda harus patuh pada dosen seperti anda patuh pada Ayah Ibu anda, dosen bisa di ganti, Ayah  Ibu tidak bisa  di ganti. Jadi problem ini sebetulnya dibuat seolah-olah itu kultural, jadi kita tidak bisa mengkritisi dosen misalnya karena dia adalah Ayah kita. Jadi dengan melekatkan konsepsi kultural Ayah Ibu sebagai otoritas pada dosen munculah dosen tiri.
Dosen yang tidak mengerti hal semacam ini cenderung punya pandangan negatif tersendiri terhadap mahasiswa tertentu yang tidak suka mencium tangan dosennya, hingga kadang dosen dengan segala kuasanya memberikan nilai yang tidak baik kepada mahasiswa. Padahal kita sangat tahu bahwa menghormati tidak harus dengan mencium tangan, sehingga dalam kelas mahasiswa di harapkan bisa menginterupsi sang dosen dengan tidak merasa bersalah.
Sopan santun menjadi kultural, bagi dosen yang keliru dalam menafsirkan sopan santun seringkali salah dalam menilai kondisi mahasiswa. Sehingga jika ada mahasiswa yang mengkritisi dosen di anggap sebagai sesuatu yang tidak sopan.
 Rocky Gerung pernah mengatakan “Sopan santun terhadap hal-hal yang fundamental atas nama peradaban itu sama artinya dengan kita memberi kesempatan tumbuhnya kebiadapan”. Kadang kala sopan  santun menjadi penghambat tumbuhnya pluralisme, Sopan santun tidak lagi di pertengkarkan pada asal-usul kulturalnya. Adaptasi historisnya, yaitu perjumpaannya dengan sejarah tingkah laku peradaban.  di kampus, pluralisme tentang cara berfikir mesti di hidupkan, ada banyak persoalan dalam kampus termasuk cara berfikir yang acap kali justru menghadirkan anti toleransi, sehingga banyak dosen yang menilai mahasiswa hanya dengan sebelah mata.
Kampus itu tempat orang menikmati masa muda, masa muda adalah masa di mana semua kemungkinan harus di perlihatkan sebagai milik bersama, hanya dengan cara itu kampus bisa tumbuh, kampus adalah tempat kemungkinan di olah dengan akal, bukan tempat keyakinan.
Soe Hok Gie, dalam bukunya Agus Santosa “Memoar Biru Gie” memberikan contoh kepada kita, dalam sebuah pelajaran di kelas, Gie pernah memaklumatkan kritik-kritik tajam dalam perdebatan soal sastra dengan gurunya. Ia menaklukan dan  membuat sang guru malu, dan Ngawur. Apa komentar Gie? “Yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.”
Soe Hok Gie  memberikan contoh yang penulis kira  harus mesti bisa membantu mahasiswa agar berfikir lebih tajam untuk melihat hal-hal yang terjadi disekitar kita. Mahasiswa harus tumbuh lebih berkualitas, mahasiswa harus berfikir lebih tajam sehingga mampu merubah setiap hal yang mengganjal di dunia yang kotor tapi indah ini.
 

Welcome To Blog AL Muges Design by Insight © 2009