Welcome To Blog AL Muges

AL Muges Blog

27 Mei 2018

Ormawa dan Mahasiswa

1 komentar

Oleh : albar muges

Sengaja saya memilih tema ini karena didasari dengan satu pertanyaan yang menghantui pikiraan saya tentang peran organisasi mahasiswa (ormawa) terhadap mahasiswa Universitas Indraprasta PGRI (Unindra). Ada beberapa peristiwa yang menggelitik saya untuk membuat tanggapan. Diantaranya berdirinya organisasi mahasiswa yang melabelkan kedaerahan tertentu.

Menarik untuk mengikuti perkembangan pergerakan mahasiswa Unindra karena selalu ada semacam hal baru yang dimunculkan. Pertama-tama saya hendak mengatakan “tugas utama ormawa adalah mengelola harapan, merawat barisan dan bergerak dengan suka cita.”

Kemunculan organisasi mahasiswa baru dalam dinamika demokrasi kampus, pertanda ormawa gagal mewadahi kepentingan mahasiswa. Memang banyak ormawa tidak berarti kualitas demokrasi kampus menjadi lebih baik, tapi membatasi kritik sudah pasti mengecam demokrasi karena mengurangi apa yang disebut dengan “The value of democracy”.

Tujuan ormawa didirikan untuk membela memperjuangkan aspirasi mahasiswa, saya tidak paham kenapa ormawa tidak bisa produktif untuk memperjuangkaan hal ini. Apakah ada kritik dari pers mahasiswa soal ini ? Media adalah bagian dari kurikulum untuk melegitimasi posisi agar supaya tetap aman dan mengendalikan informasi adalah cara "dingin" untuk melemahkan oposisi. Fenomena inilah yang membuat ormawa semakin fanatik terhadap lembaga. Hal inilah yang tidak disadari oleh mahasiswa secara menyeluruh sehingga ormawa benar-benar merasa aman.

Salah satu masalah serius ormawa adalah ketika ia memilih lebih baik mengikuti apa kata lembaga ketimbang mendengar aspirasi mahasiswa. Tidak ada statement apa-apa dari ormawa. Selama ini yang memutuskan apa-apa yang boleh dan apa-apa yang tidak pada akhirnya adalah lembaga, dan ormawa hanya menuruti. Mahasiswa dibuat tidak punya pilihan.

Statement dari ormawa selama ini seakan-akan yang benar hanya di pihak mereka sendiri dan lembaga, sehingga jika ada statement lain dari mahasiswa dianggap keliru. Ormawa-ormawa ini memang merasa paling sok tahu dan bijak. Menurut hemat saya, untuk menjadi produktif, kritik dari mahasiswa harus bisa diterima dalam skema rasionalitas universal.

Memperjuangkan aspirasi mahasiswa harus dilakukan dengan tetap berbasis pada cara yang efektif, bukan dengan memperbanyak seminar. Memperbanyak kegiatan seputar seminar tetap tidak menyelesaikan masalah yang ada menjadi lebih baik. Justru menjadi bukti kinerja ormawa tidak substansial. Sayang kalau oramawa dikenal sebagai tempat untuk mewadahi aspirasi mahasiswa tapi kemudian tidak berdampak apa-apa untuk mahasiswa karena terlalu sibuk dengan seminar. Isu-isu seperti ini yang seharusnya perlu diangkat dan didiskusikan lebih dalam daripada sekedar meributkan masalah-masalah yang justru tidak substansial.

Kritik adalah cara untuk menjaga agar segala sesuatu menjadi lebih baik. Yang menyedihkan dan memuakkan dalam persoalan ini adalah tidak pahamnya para anggota organisasi mahasiswa (ormawa) dan diamnya ketua BEM. Seorang pemimpin akan diuji. Ia lurus-selurusnya atau bengkok dan berkilah, ia berbakti atau menghamba.

02 Juli 2017

Kampus Memang Ibunya Para Penjahat

0 komentar
Oleh : Albar Muges

Kampus Memang Ibunya Para Penjahat

Jika kampus adalah tempatnya aktivis
Kenapa tak ditemukan jiwa yang kritis
Jika kampus adalah tempatnya akademisi
Kenapa mereka tak mau dikritisi

Kampus Memang Ibunya Para Penjahat

Mahasiswa dibuat seperti pembantu rumah tangga
Tak boleh mengkritik karena mereka adalah majikan kita
Mahasiswa dibuat seperti orang yang berakhlak
Supaya mendapat nilai yang baik walaupun nyontek

Kampus Memang Ibunya Para Penjahat

Mahasiswa di paksakan berpakaian rapih
Padahal banyak yang tak mampu untuk membeli
Mahasiswa dipaksa seragam
Maka tak heran bangsa ini menjadi suram

Kampus Memang Ibunya Para Penjahat

Dulu, kampus menjadi basis perlawanan
Terus berteriak untuk sebuah kebenaran
Wahai wahasiswa, ini seruan untuk terus berfikir
Itu syarat mutlak yang tak dapat ditawar

Kampus Memang Ibunya Para Penjahat

Kampus bukan lagi lembaga pembebasan dan pencerahan
Kini kampus sudah seperti penjara dimana angkara murka menjadi tuan

Kampus telah berubah wajahnya menjadi lembaga yang mencari laba
Melahirkan sarjana yang mengingkari etika

Kampus Memang Ibunya Para Penjahat

Kerjanya mencetak penjahat-penjahat kelas kakap
Membuat rakyat tak bisa banyak berharap
Merubah format lembaga pendidikan menjadi orientasi profit
Yaah, kampus memang ibunya para penjahat

25 Juni 2017

BEM Universitas dan Sosok Seorang Yogi Setiawan

1 komentar
Oleh  : Albar Muges
Salam Perjuangan...!!!



"BEM itu bukan BEM saya, bukan BEM kamu, bukan BEM mereka, tapi BEM kita semua." Hidup ini tidak semakin memudah. Itu sebabnya kita harus menjadi lebih cerdas dalam memilih orang yang tepat untuk bisa memecahkan problem yang terjadi hari ini. Pendidikan itu penting, dan pekerjaan itu jalan rezeki. Marilah kita ikhlas memampukan diri. Jangan lagi mengeluh. Jangan suka membesarkan rasa pesimis. Memang upaya tidak menjamin perbaikan hidup, tapi tidak ada perbaikan hidup yang bisa dicapai tanpa upaya.

Kekuatan ide dan inspirasi mampu mengalahkan uang dan publikasi konvensional. Saya yakin itu dengan sepenuh hati. Seorang Yogi Setiawan memberikan banyak inspirasi untuk bergerak. Saat ini, BEM Unindra membutuhkan pemimpin yang mampu menggerakan. Pemimpin yang mampu memberikan inspirasi untuk bergerak bersama-sama memberikan solusi atas masalah yang terjadi pada kampus ini. Bukan seorang manusia super power yang bisa menyelesaikan masalah dari sekian banyaknya masalah yang terjadi saat ini.

Seperti yang sering disampaikan Anies Baswedan, “Kesalahan sekarang adalah menganggap masalah yang terjadi bukan sebagai masalah dirinya. Masalah bangsa Indonesia dianggap sebagai masalah orang lain”. Hal yang sangat mendasar dalam kehidupan bangsa ini adalah rasa memiliki. Ketika masalah dianggap sebagai masalah orang lain, maka kepedulian kita akan berkurang. Tetapi saat masalah dianggap sebagai masalah sendiri, maka sekuat tenaga kita akan bergerak menyelesaikannya. Bayangkan jika seorang pemimpin harus menyelesaikan semua masalah bangsa ini, siapapun tak ada yang akan sanggup menyelesaikannya sendirian. “Turun tangan, bukan urun angan” kata Anies Baswedan dalam setiap diskusinya. Kata yang tepat untuk mengajak semua lapisan pemuda Indonesia agar turut ambil bagian dalam setiap masalah dan menjadi pribadi-pribadi yang mampu menjadi inspirator kebaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai mahasiswa, sudah barang tentu kita dituntut untuk kembali menghadirkan suasana kebihnekaan dalam kampus. Melihat  kondisi BEM hari ini, tentu dibutuhkan pemimpin baru yang mampu memahami hakikat sosial origins dari bangsa ini, pemimpin yang tidak sekedar mengakui dirinya sebagai mahasiswa, tapi pemimpin yang bisa menjadi representasi dari  esensi Sumpah Pemuda.

Kondisi BEM hari ini sebetulnya sedang berada dalam satu keadaan yang mahasiswanya terombang-ambing, sehingga sering kali muncul permasalahan antar mahasiswa yang itu justru menghina esensi dari Sumpah Pemuda. Oleh sebabnya mindset tentang multikulturalisme harus  terus dihidupkan di kalangan mahasiswa supaya aura dari sosial origins dari bangsa ini kembali harum.

Pemimpin yang menginspirasi adalah pemimpin yang menggerakan untuk bersama-sama menjadi bagian dari solusi atas masalah kampus ini. Seperti halnya Barack Obama yang hadir dengan ide-ide segar kebangsaan, saya melihat inspirasi itu justru hadir lewat sosok seorang Yogi Setiawan. Tidak salah jika saya katakan bahwa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) membutuhkan sosok pemimpin yang menginspirasi perubahan seperti Yogi setiawan. Inilah saatnya kita semua menjadi bagian dari perubahan. Soekarno dan Hatta dua orang proklamator sudah mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk bergerak bersama-sama mengisi kemerdekaan.

15 Mei 2017

Menentukan Masa Depan LPM Progress

3 komentar
Oleh : Albar Muges

            Dalam berorganisasi kita diingatkan supaya tetap memiliki komitmen, tak kehilangan rasa memiliki, bersedia jadi pilar adiluhung kesatuan atau selalu menyala jiwa kepedulian. Meminjam kata penyair kenamaan A. Ayauqy Beq “Arsitek masyarakat berkeringat harum”. Artinya pelaku-pelaku sejarah yang punya jiwa kejuangan tinggi untuk rela berkorban demi kepentingan tanah air dan bangsa yang dibelanya.

            Terlihat dalam tubuh organisasi, anggota memiliki fungsi tersendiri yaitu : sebagai tenaga pengerak organisasi, sebagai calon pimpinan, dan sebagai benteng organisasi. Secara kualitatif, anggota mempunyai mutu, kesangupan bekerja dan berkorban lebih besar. Anggota itu adalah inti, anggota merupakan benteng dari “serangan” luar serta penyelewengan dari dalam. Kedalam tubuh organisasi, angggota adalah tenaga penggerak organisasi yang memahami sepenuhnya dasar dan ideologi perjuangan. Ia mampu melaksanakan program perjuangan secara konsekuen di setiap waktu, situasi dan tempat. Terbawa oleh fungsinya itu untuk menjadi angggota organisasi yang berkualitas, anggota harus menjalani pendidikan, latihan dan praktikum. Pendidikan anggota harus dilaksanakan secara terus menerus, rapi terencana dan teratur. Pengertian anggota adalah tulang pungung organisasi, pelopor, pengerak, pelaksana.

Kuantitas dan kualitas tidaklah bertolak belakang, bahkan idealnya balance. Namun, realitas dalam wajah suram LPM Progress memperlihatkan bahwa aktivitas selama ini lebih condong pada seberapa banyak kegiatan atau kader yang berhasil dibuat/dicetak, bukan bagaimana mutu atau outputnya. Sekaranglah saatnya untuk meninggalkan sikap mental seperti itu, pengalaman membuat berbagai program kegiatan sudah matang, tinggal bagaimana kita memoles dan mengembangkan yang sudah ada menjadi sesuatu yang lebih bernilai guna, serta membuat yang baru dengan kualitas yang lebih baik, meskipun secara kuantitatif sedikit.


LPM Progress sudah overload, itulah mungkin kata yang tepat mendeskripsikan kondisi LPM Progress kini. Banyaknya kader tidak menjamin LPM Progress besar secara kulitatif. Banyaknya program kegiatan yang tidak jelas outputnya hanya membuang biaya dan tenaga, cenderung berorientasi pada program pengurus bukannya orientasi kebutuhan. Sebetulnya LPM Progress memiliki potensi yang sangat besar untuk meningkatkan kualitasnya, baik dari segi pendanaan, fasilitas yang dimiliki atau bisa dipinjam, resources anggotanya, dll, tinggal bagaimana meracik itu semua untuk mengarah pada segala aktivitas yang berorientasi pada peningkatan kualitas anggota dan organisasinya.

Peran dan Masa Depan BEM Unindra

1 komentar
Oleh : Albar Muges


Peran organisasi mahasiswa amatlah penting dalam rangka pembangunan bangsa dan negara, karena memiliki peran strategis sebagai pelopor perubahan sosial, ekonomi dan politik. Demi kemajuan bangsa dan negara dalam melakukan terobosan-terobosan sikap kritis dan progresif seorang mahasiswa sangat diharapkan.

Peranan BEM, baik dalam dimensi kemahasiswaan, keummatan maupun kebangsaan, seolah tidak mempunyai arti yang cukup significant. Anggota BEM sudah terjebak pada rutinitas aktifitas organisasi yang mengarah pada “kejumudan” gerakan. BEM hanya mampu bernostalgia dengan kejayaannya, tanpa mampu melakukan suatu gebrakan baru yang mampu melebihi kesuksesan angkatan senior kita terdahulu.

Sekarang ini, kita mesti berpikir lebih cerdas dan bekerja lebih keras untuk membuat babak baru bagi BEM yang jauh lebih baik dari masa lalu. Kondisi umum dalam dunia kemahasiswaan, keummatan dan kebangsaan sekarang ini jauh lebih kompleks dibanding pada masa para pendahulu, sehingga aktifitas BEM zaman sebelumnya janganlah dijadikan acuan pokok, apalagi dianggap mengikat dan baku. Kejayaan BEM dahulu memang masih tetap harus dijadikan cerminan oleh kita, agar mampu memproyeksikannya pada masa kini dan ke depan. Namun tentunya kondisi yang sudah jauh berubah dan sangat berbeda, saat ini membutuhkan strategi dan taktik yang jauh lebih realistis-rasional dan menjamin kebutuhan dasar dari para angggota BEM.

Kejumudan aktifitas BEM barangkali disebabkan oleh banyak hal, namun saya melihat beberapa faktor yang perlu dijadikan perhatian, sekaligus prioritas perubahan perilaku organisasi dan pribadi, agar mampu memecah kebekuan yang dirasakan sudah mempersempit ruang gerak BEM. Prasyarat utama dari perubahan ini adalah adanya political will dari para pengurusnya terutama dalam membuat sistem baru yang lebih adaptif dengan keadaan internal dan eksternal BEM, dan tersedianya kualitas SDM para anggota BEM yang memikul tanggungjawab serta akan berperan aktif dalam menjalankan program perubahan tersebut.

Dari arus perubahan yang berjalan hingga saat ini, yaitu kenyataan bahwa perjalanan program perubahan BEM, belum menemukan titik terang. Jika kita cermati, seolah-olah arus perubahan yang bergulir dalam waktu yang relatif panjang ini hanyalah kesia-siaan belaka. Pengorbanan dan kristalisasi keringat dan waktu yang terbuang hanya menjadi “tumbal” dalam mengawal program perubahan menuju gerbang kejayaan yang dapat dinikmati oleh seluruh mahasiswa.

Kejumudan biasanya lebih banyak disebabkan oleh sikap-sikap taklid buta yang tanpa disadari merasuki pikiran dan perasaan kita, sehingga memunculkan suatu sikap yang enggan untuk berbeda atau berubah. Aktifitas organisasi bukanlah aqidah agama, maka berbeda atau berubah merupakan suatu keharusan agar kita mampu survival dalam kancah gerakan.

Sikap konservatifisme yang selalu membayangi anggota BEM biasanya juga disebabkan oleh campur tangan orang lain yang selalu menjadi bayang-bayang para anggota BEM dalam setiap aktifitasnya. Oleh karena itu, mencoba untuk keluar dari situasi seperti itu merupakan langkah awal bagi terwujudnya perubahan. Mentalitas progressif revolusioner sangatlah penting artinya untuk suatu perubahan dan perombakan mendasar, karenanya dibutuhkan keberanian dan kematangan untuk melangkahkan kaki menuju perubahan. Sikap seperti itu akan sangat berkorelasi dengan perkembangan intern dan ekstern BEM, sehingga melahirkan aktifitas yang sesuai dengan perkembangan kekinian.

08 Maret 2017

Kilmury : Negeri Adat yang Terlupakan

1 komentar


#SaveKilmury

Kilmury merupakan salah satu kecamatan/negeri adat di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) Provinsi Maluku yang di mekarkan sebagai daerah yang otonom untuk menjawab kebutuhan masyarakat di daerah tersebut. Ketika kabupaten Seram Bagian Timur di mekarkan pada tahun 2003, Kilmury masih di bawah pemerintahan kecamatan Seram Timur (Kota Geser) dan segala macam kebutuhan masyarakat Kilmury baik pendidikan, kesehatan, ekonomi, lapangan pekerjaan dan lain-lain masih terfokus di kecamatan Seram Timur (Geser). Akses masyarakat Kilmury ke Geser hanya menggunakan transportasi laut berupa perahu motor (ketinting), ini lah kendaraan yang selalu digunakan oleh masyarakat Kilmury dari dulu sampai sekarang.

Masyarakat Kilmury yang terdiri dari 26 dusun ini dari dulu sampai sekarang tidak pernah merasakan manisnya pembangunan baik jalan, listrik, jaringan telekomunikasi, pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan serta pengembangan ekonomi masyarakat lainnya. Kecematan yang besar dengan keterbatasan akses jalan membuat masyarakat Kilmury hanya menggunakan akses jalan di bibir pantai sehingga ketika pasang air naik masyarakat tidak bisa lagi menyebrang karena beberapa perbatasan desa ada kali besar yang panjangnya - + 50-60 meter dengan kedalaman yang cukup membuat masyarakat Kilmury terkendala dalam menyebrang. Hal lain seperti PLN, Kilmury ketika malam hari gelap seakan tidak ada kehidupan disana, mereka tidak pernah menikmati cahaya lampu dari Indonesia merdeka hingga saat ini.

Pada kondisi kesehatan juga miris karena yang di bangun baru puskut satu tingkat di bawa puskesmas dengan tenaga medisnya cuma satu orang ditambah dengan peralatan medisnya yang terbatas membuat siapa pun yang bertugas disana tidak akan lama sehingga membuat mereka jarang ke tempat tugasnya. Selain dari akses yang jauh, disana juga tidak ada jaringan telekomunikasi membuat siapa pun yang bertugas disana tidak akan betah. Kondisi pendidikan di Kilmury cukup memprihatinkan karena kecamatan yang besar hanya memiliki 1 SMA, 5 sekolah SD dan 2 sekolah SMP dengan jumlah guru yang aktif hanya 2-3 orang, selebihnya tidak bisa bertahan karena kondisi yang begitu terisolir.

Kilmury menangis sejak 72 tahun lamanya tapi tidak ada yang mau memperdulikan, semua orang bungkam seribu bahasa dan Kilmury sudah lama hidup tanpa negara. Wilayah yang masih jauh terbelakang dan butuh perhatian pemerintah. Hari ini, Kilmury tanpa jalan penghubung antar desa dan kecematan, tanpa sarana listrik, tanpa sarana telekomunikasi dan tanpa sarana pelabuhun. Hari ini juga, atas nama keadilan pembangunan pemuda Kilmury lantang menyuarakan.

1.      Percepatan pembangunan jalan penghubung antar desa dan kecamatan
2.      Percepatan pemasangan sistem jaringan listrik di seluruh desa kecamatan Kilmury
3.      Percepatan pembangunan jaringan sistem komunikasi celuler
4.      Percepatan pembangunan pelabuhan di desa Undur/Kilmury dan
5.      Penyediaan sarana pendidikan dan kesehatan.


Pembangunan vital ini sebagai bagian dari tindakan lanjut pelaksanaan pembangunan Indonesia secara merata (adil) guna terciptanya taraf hidup masyarakat Kilmury (Indonesia) yang sejahtera berkelanjutan.

08 September 2016

Antara Mahasiswa, Dosen, dan Cium Tangan

5 komentar


Oleh : Albar Muges
Mahasiswa Jurusan Teknik Informatika di Unindra

Ketika mendengar kata mahasiswa, kita sering cenderung beranggapan bahwa orang yang berfikir kritis, suatu  elemen penting dalam mendorong kehidupan sosial yang baik. Kata mahasiswa memiliki tempatnya tersendiri di dalam pemikiran setiap orang. Mahasiswa sebagai “Agen Of change”, kalimat yang selalu didengungkan oleh para aktivis kampus yang tidak pernah puas dengan kebijakan publik yang sering nyaris tidak pro rakyat. Mahasiswa adalah kaum intelektual muda yang siap untuk merubah setiap kondisi yang menindas rakyat, begitulah kira-kira bahasa sederhana yang bisa mewakili kata mahasiswa.
Setiap masuk kelas, penulis selalu melihat ada beberapa mahasiswa di kelas yang ketika masuk kelas mereka harus mencium tangan dosen, sesuatu yang tidak harus dilakukan oleh semua mahasiswa. cium tangan menjadi suatu tradisi dalam sebuah keluarga sebagai tanda menghargai, seorang anak harus mesti mencium tangan orang tuanya sebagai tanda bahwa sang anak menghormati orang tuanya.
Cium tangan selalu menjadi simbol menghargai, menghormati, hingga di ruangan kampus seorang mahasiswa harus mencium tangan seorang  dosen, mahasiswa yang  tidak memahami arti kebabasan dia dengan sendirinya akan merasa bersalah jika tidak mencium tangan dosennya, Dosen juga sering kali beranggapan bahwa mahasiswa yang tidak mencium tangan dosennya berarti mahasiswa tersebut tidak menghargai dosennya. Suatu pemikiran keliru yang terjadi di kalangan S2 bahkan S3. Albert Camus dengan sangat tegas mengatakan bahwa “kebebasan harus di lihat di dalam relasi yang paling individual, yaitu penghargaan terhadap cara setiap manusia menikmati eksistensial”.
Ruang kelas adalah satu-satunya tempat paling bebas di alam semesta, sebab di ruang kelas orang hanya bertumpuh pada kekuatan argumen, jadi apapun pikiran orang, dia harus bisa disajikan untuk di bantah, termasuk pikiran tentang surga. Di kampus ukuran pertama adalah anda intellectual, intellectual berarti “force of the better argument” hanya argumen yang bermutu yang boleh di ucapkan di kampus. Apa ciri argumen bermutu, argumen bermutu adalah argumen yang membuka diri untuk di kritik ulang, dengan cara itu ada dialetika ilmu pengetahuan.
Di kampus siapa pun boleh berpendapat, tapi mesti di tekankan bahwa anda  berpendapat artinya anda ingin terbuka untuk dipersoalkan, sebab argumen yang di edarkan di ruangan kampus adalah sesuatu yang sifatnya falibilis, falibilis artinya bisa di buktikan salah, kalau tidak bisa di buktikan salah di rawatlah itu di ruang ibadah masing-masing, supaya tidak ada problem dengan argumen.


Rocky Gerung, seorang dosen filsafat di Universitas Indonesia (UI) pernah mengatakan dalam sebuah diskusi bahwa ungkapan: “Hormatilah dosen mu seperti anda menghormati orang tua anda”, adalah suatu dasar tipuan sosiologis yang acap kali melanda para mahasiswa, Ayah Ibu dalam hirarki tidak bisa di ganti, dosen bisa di ganti, Presiden  bisa di ganti, tetapi model Ayah Ibu ini kemudian di pakai sebagai modal dasar, bahwa anda harus patuh pada dosen seperti anda patuh pada Ayah Ibu anda, dosen bisa di ganti, Ayah  Ibu tidak bisa  di ganti. Jadi problem ini sebetulnya dibuat seolah-olah itu kultural, jadi kita tidak bisa mengkritisi dosen misalnya karena dia adalah Ayah kita. Jadi dengan melekatkan konsepsi kultural Ayah Ibu sebagai otoritas pada dosen munculah dosen tiri.
Dosen yang tidak mengerti hal semacam ini cenderung punya pandangan negatif tersendiri terhadap mahasiswa tertentu yang tidak suka mencium tangan dosennya, hingga kadang dosen dengan segala kuasanya memberikan nilai yang tidak baik kepada mahasiswa. Padahal kita sangat tahu bahwa menghormati tidak harus dengan mencium tangan, sehingga dalam kelas mahasiswa di harapkan bisa menginterupsi sang dosen dengan tidak merasa bersalah.
Sopan santun menjadi kultural, bagi dosen yang keliru dalam menafsirkan sopan santun seringkali salah dalam menilai kondisi mahasiswa. Sehingga jika ada mahasiswa yang mengkritisi dosen di anggap sebagai sesuatu yang tidak sopan.
 Rocky Gerung pernah mengatakan “Sopan santun terhadap hal-hal yang fundamental atas nama peradaban itu sama artinya dengan kita memberi kesempatan tumbuhnya kebiadapan”. Kadang kala sopan  santun menjadi penghambat tumbuhnya pluralisme, Sopan santun tidak lagi di pertengkarkan pada asal-usul kulturalnya. Adaptasi historisnya, yaitu perjumpaannya dengan sejarah tingkah laku peradaban.  di kampus, pluralisme tentang cara berfikir mesti di hidupkan, ada banyak persoalan dalam kampus termasuk cara berfikir yang acap kali justru menghadirkan anti toleransi, sehingga banyak dosen yang menilai mahasiswa hanya dengan sebelah mata.
Kampus itu tempat orang menikmati masa muda, masa muda adalah masa di mana semua kemungkinan harus di perlihatkan sebagai milik bersama, hanya dengan cara itu kampus bisa tumbuh, kampus adalah tempat kemungkinan di olah dengan akal, bukan tempat keyakinan.
Soe Hok Gie, dalam bukunya Agus Santosa “Memoar Biru Gie” memberikan contoh kepada kita, dalam sebuah pelajaran di kelas, Gie pernah memaklumatkan kritik-kritik tajam dalam perdebatan soal sastra dengan gurunya. Ia menaklukan dan  membuat sang guru malu, dan Ngawur. Apa komentar Gie? “Yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.”
Soe Hok Gie  memberikan contoh yang penulis kira  harus mesti bisa membantu mahasiswa agar berfikir lebih tajam untuk melihat hal-hal yang terjadi disekitar kita. Mahasiswa harus tumbuh lebih berkualitas, mahasiswa harus berfikir lebih tajam sehingga mampu merubah setiap hal yang mengganjal di dunia yang kotor tapi indah ini.
 

Welcome To Blog AL Muges Design by Insight © 2009